Selasa, 22 September 2015

Goenawan Soesatyo Mohamad (Tokoh Pers)


























* Pemahaman Umum

Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Batang, 29 Juli 1941; umur 74 tahun)
adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang
pendiri Majalah Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang
dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.

Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang memiliki pandangan
yang liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah
seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran
monodimensional.

* Masa muda

Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo, ini
pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut
menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya
dilarang menulis di berbagai media umum.

Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan
puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas 6 SD,
ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian kakaknya yang
dokter, ketika itu berlangganan majalah Kisah asuhan H.B Jassin.

Goenawan yang biasanya dipanggil Goen, belajar psikologi di Universitas
Indonesia, ilmu politik di Belgia, dan menjadi Nieman Fellow di
Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti
Djajadisastra dan memiliki dua anak. [note 4]

* Dunia jurnalistik

Karier GM, panggilan singkatnya, dimulai dari redaktur Harian KAMI
(1969-1970), redaktur Majalah Horison (1969-1974), pemimpin redaksi
Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi Majalah Swasembada (1985).

Dan sejak 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah
Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme
majalah Time.

Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di
Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto
yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia.

Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah,
sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.

Goenawan Mohammad awalnya berharap bisa membangkitkan Tempo lagi
lewat PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), di mana ia menjadi salah
satu anggota.

Setelah PWI yang terkooptasi rezim Soeharto ternyata tak bisa
diandalkan, Goenawan kemudian mendukung inisiatif para jurnalis muda
idealis yang mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi
jurnalis independen pertama di Indonesia.

Ia juga turut mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang
bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia.
Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Soeharto diturunkan pada
tahun 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti jumlah halaman namun
tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas
usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian Koran Tempo.

Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan
Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohammad
dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tommy Winata. Pernyataan
Goenawan Mohammad pada tanggal 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan
pencemaran nama baik bos Artha Graha itu.

Selepas jadi pemimpin redaksi majalah Tempo dua periode (1971-1993 dan
1998-1999), Goenawan praktis berhenti sebagai wartawan. Bersama musisi
Tony Prabowo dan Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera Kali
(dimulai 1996, tapi dalam revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The
King’s Witch (1997-2000).

Yang pertama dipentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York.
Pada tahun 2006, Pastoral, sebuah konser Tony Prabowo dengan puisi
Goenawan, dimainkan di Tokyo, 2006.

Pada tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama-tari Kali-Yuga
bersama koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut beserta Gamelan
Sekar Jaya di Berkeley, California.

Dia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa
Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang
dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan Dalang Slamet
Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama-tari Panji Sepuh
koreografi Sulistio Tirtosudarmo.

* Karya sastra

Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan
berbagai karya yang sudah diterbitkan, di antaranya kumpulan puisi
dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke
bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis.

Sebagian esainya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai
Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Tetapi lebih
dari itu, tulisannya yang paling terkenal dan populer adalah Catatan
Pinggir (Caping), sebuah artikel pendek yang dimuat secara mingguan
di halaman paling belakang Majalah Tempo.

Konsep dari Caping adalah sekadar sebuah komentar ataupun kritik
terhadap batang tubuh yang utama. Artinya, Caping mengambil posisi
di tepi, bukan posisi sentral. Sejak kemunculannya pada akhir tahun
1970-an, Catatan Pinggir telah menjadi ekspresi oposisi terhadap
pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot.

Catatan Pinggir, esai pendeknya tiap minggu untuk Majalah Tempo,
(kini terbit jilid ke-6 dan ke-7) di antaranya terbit dalam terjemahan
Inggris oleh Jennifer Lindsay, dalam Sidelines (Lontar Foundation, 1994)
dan Conversations with Difference (19….). .

Kritiknya diwarnai keyakinan Goenawan bahwa tak pernah ada yang
final dalam manusia. Kritik yang, meminjam satu bait dalam sajaknya,
“dengan raung yang tak terserap karang”.

Kumpulan esainya berturut turut: Potret Seorang Peyair Muda Sebagai
Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan
Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu
(2001), Eksotopi (2002).

Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973),
Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak
Lengkap 1961-2001 (2001). Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam
bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan
Mohamad: Selected Poems (2004).

Setelah pembredelan Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi
Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan
dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendekiawan
yang memperjuangkan kebebasan ekspresi. Secara sembunyi-sembunyi,
antara lain di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan serangkaian media
dan buku perlawanan terhadap Orde Baru.

Sebab itu di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro-demokrasi,
seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.

Dari ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar,
Kedai Tempo, Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme
Penyiaran, yang meskipun tak tergabung dalam satu badan, bersama-sama
disebut “Komunitas Utan Kayu”.

Semuanya meneruskan cita-cita yang tumbuh dalam perlawanan terhadap
pemberangusan ekspresi. Goenawan Mohamad juga punya andil dalam pendirian
Jaringan Islam Liberal.

Tahun 2006, Goenawan dapat anugerah sastra Dan David Prize, bersama
esais dan pejuang kemerdekaan Polandia, Adam Michnik, dan musikus
Amerika, Yo-yo-Ma. Tahun 2005 ia bersama wartawan Joesoef Ishak
dapat Wertheim Award.

Karya terbaru Goenawan Mohamad adalah buku berjudul Tuhan dan Hal
Hal yang Tak Selesai (2007), berisi 99 esai liris pendek. Edisi bahasa
Inggrisnya berjudul On God and Other Unfinished Things diterjemahkan
oleh Laksmi Pamuntjak.
Bacaan
________________________________________________________________
Cat :

Tidak ada komentar :

Posting Komentar