Senin, 19 Oktober 2015

Delik Pers dan Seluk Beluknya

Bab I
DELIK PERS

Delik pers berasal dari dua kata, delik dan pers. Delik berasal
dari perkataan Belanda delict yang artinya tindak pidana atau
pelanggaran. Kata pers mengacu pada pengertian kegiatan komunikasi
yang dilakukan melalui media elektronik seperti televisi dan radio. 

Jadi, delik pers artinya semua tindak pidana atau pelanggaran
yang dilakukan melalui media massa. Mr. D. Hazewinkel Suringa
dalam Inleiding tot de Studie van het Strafrecht menyatakan bahwa
“Delik pers adalah pernyataan pikiran dan perasaan yang dapat
dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya membutuhkan
publikasi pers.”

Para ahli hukum sendiri merumuskan delik pers adalah setiap
pengumuman atau penyebarluasan pikiran melalui penerbitan pers.

Ada tiga unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan yang
dilakukan melalui pers dapat digolongkan sebagai delik pers,
yaitu:

Adanya pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan melalui
barang cetakan.

Pikiran dan perasaan yang diumumkan/disebarluaskan melalui barang
cetakan itu harus merupakan perbuatan yang dapat dipidana
menurut hukum.

Pengumuman pikiran dan perasaan yang dapat dipidana tersebut
serta yang dilakukan melalui barang catakan tadi harus dapat
dibuktikan telah disiarkan kepada masyarakat umum atau
dipublikasikan. Jadi, syarat atau unsur terpenting adalah
publikasi.

Subjek hukum delik pers.

Subjek hukum delik pers harus dikaitkan dengan pasal 55 dan 56 KUHP,
yang dikenal dengan penyertaan, yaitu keterlibatan seseorang dalam
peristiwa pidana tergantung pada kadar atau sejauh mana orang itu
terlibat dalam proses terjadinya tindak pidana.

Pasal 55 KUHP:

1) Dipidana sebagai si pembuat suatu tindak pidana:

Ke-1 orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang
turut melakukan perbuatan itu;

Ke-2 orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai
kekuasaan atau martabat, memakai paksaa, ancaman atau tipu karena
memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja
menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.

2) Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang
boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang
sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.

Pasal 56 KUHP:

Sebagai pembantu melakukan kejahatan dipidana:

Ke-1 orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu
dilakukan;

Ke-2 orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau
keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Dalam kaitannya dengan penerbit dan pencetak, diatur dalam pasal
61 dan 62 KUHP, sebagai berikut:

Pasal 61 KUHP:

1) Pada kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan, maka
penerbit tidak dituntut, jika pada barang cetakan itu ada tersebut
nama dan tempat tinggalnya dan pembuat itu sudah ketahuan atau
sudah diberitahukan oleh penerbit itu pada pertama kali ia
diperingatkan akan menerangkan nama itu sesudah penuntutan berjalan.

2) Aturan itu tidak berlaku, jikalau pada waktu penerbitan si
pembuat tidak dapat dituntut atau diam di luar daerah Republik
Indonesia.

Pasal 62 KUHP:

1) Pada kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan, maka
pencetak tidak dapat dituntut, jika barang cetakan itu tersebut
nama dan tempat tinggal pencetak itu dan nama orang yang menyuruh
cetak sudah ketahuan, atau sudah diberitahukan oleh pencetak itu
pada pertama kali ia diperingtkan, akan menerangkan nama itu,
sesudah penuntutan berjalan.

2) Ketentuan ini tidak berlaku, bilamana pada waktu mencetak
orang yang menyuruh cetak itu, tidak dapat dituntut atau diam di
luar daerah Republik Indonesia.

Mengacu pada pasal 55, 56, 61, dan 62 KUHP di atas, maka pihak-
pihak yang terlibat dalam tindak pidana dan menjadi subjek hukum
delik pers ialah:

Wartawan yang membuat atau menulis berita.
Redaktur, yang menilai, mengedit dan menentukan dimuatnya berita.
Penerbit, yaitu badan usaha yang menerbitkan media.
Pencetak, yaitu orang yang membantu melakukan perbuatan pidana.

BAB II

                                                      
MENURUT KUHP

Penggolongan Delik Pers

Delik pers dapat digolongkan ke dalam 5 kelompok besar,
yaitu:

1. Kejahatan terhadap ketertiban umum.

Diatur dalam pasal-pasal 154, 155, 156, dan 157 KUHP. Pasal-pasal
ini dikenal dengan nama haatzaai artikelen, yaitu pasal-pasal tentang
penyebarluasan kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap
pemerintah.

2. Kejahatan penghinaan.

Dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok:

a.       Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, diatur
dalam pasal 134 dan 137 KUHP.

Termasuk dalam kelompok ini penghinaan terhadap penguasa atau badan
hukum, yang diatur dalam pasal-pasal 207, 208, dan 209 KUHP.

b.Penghinaan umum, diatur dalam pasal-pasal 310 dan 315 KUHP.

3. Kejahatan melakukan penghasutan.

Diatur dalam pasal-pasal 160 dan 161 KUHP.

4. Kejahatan menyiarkan kabar bohong.

Diatur dalam pasal XIV dan XV Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, yang
menggantikan pasal 171 KUHP yang telah dicabut.

5. Delik kesusilaan.

Diatur dalam pasal-pasal 282 dan 533 KUHP.

Sifat delik pers

Ada 2 jenis delik pers, yaitu:

1. Delik aduan.

Pada umumnya delik pers tergolong delik aduan (klachdelict),
artinya tidak akan ada perkara kalau tidak ada yang mengadu.
Sekalipun aparat penegak hukum mengetahui telah terjadi pelanggaran,
tetapi tidak bisa mengambil inisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan.

Pasal-pasal dalam KUHP yang terkait dengan delik aduan adalah:

Pasal 310 (penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang).
Pasal 311 (fitnah).
Pasal 315 (penghinaan ringan terhadap seseorang).
Pasal 316 ( penghinaan terhadap pejabat pada waktu atau atau
menjalankan tugasnya yang sah).

Pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa).
Pasal 320 (pencemaran terhadap seseorang yang sudah mati).
Pasal 321 (penghinaan atau pencemaran nama seseorang yang sudah mati).

2. Delik biasa.

Tidak perlu ada pengaduan, karena itu aparat penegak hukum wajib
melakukan tindakan hukum apabila mengetahui telah terjadi
pelanggaran atau kejahatan.

Pasal 112 dan 113 (pembocoran rahasia negara).
Pasal 134 dan 137 (penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden).
Pasal 142, 143, dan 144 (penghinaan terhadap raja atau kepala negara
sahabat, atau orang yang mewakili negara asing di Indonesia).

Pasal 154 dan 155 ( pernyataan perasaan permusuhan, kebencian
atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia).

Pasal 156 dan 157 (pernyataan perasaan permusuhan, kebencian
atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia).
Pasal 156a (pernyataan perasaan atau melakukan perbuatan yang
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia).

Pasal 160 dan 161 (penghasutan untuk melakukan perbuatan pidana
atau menentang penguasa umum dengan kekerasan).

Pasal 162 dan 163 (penawaran untuk memberi keterangan, kesempatan
atau sarana guna melakukan tindak pidana).

Pasal 207 dan 208 (penghinaan terhadap penguasa atau badan umum
yang ada di Indonesia).Pasal 282, 532, 533, dan 534 (kesusilaan).


BAB III

TINJAUAN TERHADAP DELIK PERS



Delik Kebencian (Haatzaai Artikelen)

Haatzaai-artikelen berasal dari dua kata bahasa Belanda yang artinya
masing-masing: Haat = (benih) kebencian; zaaien = menabur, menanam
benih (perselisihan, kebencian); artikel = tulisan atau karangan,
bentuk jamaknya adalah artikelen. Jika diterjemahkan secara bebas,
haatzaai-artikelen ini bisa disalin dengan “karangan-karangan yang
menabur benih kebencian.”

Apa yang termasuk dalam haatzaai-artikelen ini dinyatakan secara
jelas dalam pasal 154 KUHP, yang berbunyi: “Barangsiapa menyatakan
rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah
Indonesia di muka umum, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.”

Atau pasal 155 KUHP, ayat 1, yang menyatakan: ”Barangsiapa menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang
mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isisnya diketahui
oleh umum, diancam…”

Menengok catatan sejarah, pencantuman pasal ini ke dalam Wetboek
Strafrecht voor Nederlands Indie (WvSNI) atau yang sekarang dikenal
KUHP-berdasarkan pasal VI UU No. 1 Tahun 1946-sesungguhnya WvSNI
merupakan konkordan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang dipakai
di Belanda, tetapi pasal haatzaai tersebut justru tidak terdapat
di dalam WvS itu sendiri.

Jelaslah maksud Pemerintah Belanda mencantumkan pasal haatzaai pada
WvSNI untuk meredam pandangan kritis bangsa Indonesia yang
dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak. Kata-kata dalam pasal ini
sangat tidak jelas batasannya sehingga bertentangan dengan asas lex
certa. Unsur “menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau
penghinaan” dapat ditafsirkan sangat luas. Dalam proses peradilan
yang tidak independen, hal ini sangat merugikan pihak yang diduga
melakukan tindak pidana itu.

Delik haatzaai ini dirumuskan sebagai “delik formal”, yang berarti
tidak perlu pembuktian terjadinya kerugian akibat pemberitaan
tersebut. Tetapi, dalam KUHP baru, pasal ini dirumuskan menjadi
delik materiel. Pelanggaran pidana yang terjadi harus dibuktikan
dulu, dalam hal ini akibat pemberitaan pers memang terbukti
merugikan publik, untuk dapat dianggap terjadi pelanggaran
delik kebencian dan permusuhan, sebelum proses pidana kepada
pelaku, pembuat, pemuat, atau yang menyiarkan berita bisa dilakukan.

Selain pasal di atas, yang dianggap sebagai haatzaaien, adalah
perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur yang dimuat dalam pasal
156 dan 156a serta pasal 157 KUHP. Pasal 156 dan 157 adalah pasal
yang mengandung unsur yang dapat menimbulkan kegelisahan dalam
masyarakat karena masalah SARA. Sedangkan pasal 156a diterapkan
apabila perbuatan pelaku dianggap bersifat penodaan terhadap
agama tertentu.

.................................................................

Dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan jelas apa yang
dimaksud dengan penghinaan. Akibatnya perkara hukum yang terjadi
sering kali merupakan penafsiran yang subjektif. Seseorang
dengan mudah dapat menuduh pers telah menghina atau mencemarkan
nama baiknya jika ia tidak suka dengan cara pers memberitakan
dirinya. Hal ini menyebabkan pasal-pasal penghinaan
(dan penghasutan) sering disebut sebagai “ranjau” bagi pers
karena mudah sekali dikenakan untuk menuntut pers. Selain itu,
ketentuan ini juga sering dijuluki sebagai “pasal-pasal karet”
karena begitu lentur untuk ditafsirkan dan diinterpretasikan.

Dalam KUHP disebutkan bahwa penghinaan bisa dilakukan
dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk
penghinaan dibagi dalam 5 kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran
tertulis, penghinaan ringan, fitnah, fitnah pengaduan, dan fitnah
tuduhan. Penafsiran adanya penghinaan (dalam pasal 310 KUHP) ini
berlaku jika memenuhi unsur:

Dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud agar diketahui umum (tersiar).
Bersifat menuduh, dalam hal ini tidak disertai bukti yang mendukung
tuduhan tersebut.
Akibat pencemaran itu jelas merusak kehormatan atau nama baik seseorang.



3. Delik kabar bohong

Wartawan atau pers yang menyebarkan berita berdassarkan desas-desus,
rumor, atau informasi sepihak bisa terjebak dalam delik kabar bohong,
khususnya jika berita itu berakibat merugikan pihak lain. Ketentuan
pidana penyebaran kabar bohong diatur dalam pasal XIV dan XV UU
No. 1 tahun 1946, yang menggantikan pasal 171 KUHP yang telah dicabut.

Pasal XIV UU No. 1 tahun1946:

Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong,
dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun.
    Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan
pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan
rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau
pemberitahuan itu bohong, dihukum dengan penjara selama-lamanya
tiga tahun.

Pasal XV UU No.1 tahun1946:

Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang
berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti,
setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan
atau mudah dapat menerbitkan keonaran di di kalangan rakyat,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga tahun.

Dalam prinsip jurnalistik dikenal istilah absence of malice (tanpa
niat jahat) ketika media pers menyebarkan informasi yang keliru;
hal itu semata-mata karena kesalahan yang dilakukan tanpa kesengajaan.

Jika pers menyebarkan kebohongan secara sadar atau sengaja, itu
berarti media pers tersebut telah mengkhianati profesinya.

 4. Delik Kesusilaan (Pornografi)

Rumitnya masalah pornografi ini, agaknya, tercermin pula dalam
aturan hukum. Dalam KUHP tidak ditemukan perumusan yuridis dari
istilah pornografi. Menurut teks KUHP Belanda (tahun 1886) yang
menjadi cikal bakal KUHP kita, pada pasal 281 yang dilarang adalah
openbare schennis de eerbaarheid (melanggar susila secara terbuka),
sedangkan dalam pasal 282 digunakan kata-kata anstotelijk voor de
eerbaarheid (melanggar perasaan susila).

Pasal-pasal KUHP yang berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan
adalah pasal-pasal 281, 282, 532, dan 533. Jika kita mempersoalkan
pornografi sebagai delik pers, maka yang dimaksud adalah larangan
yang diancam dengan ketentuan hukum pidana dalam pasal-pasal 282
dan 533 KUHP.

Pasal 282 KUHP:

Barang siapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan
berterang-terangan suatu yang diketahui isinya, atau suatu gambar
atau barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesopanan,
maupun membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa
keluar atau menyediakan tulisan, gambar atau barang itu untuk
disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan sehingga kelihatan
oleh orang banyak, ataupun dengan berterang-terangan atau dengan
menyiarkan sesuatu surat, ataupun dengan berterang-terangan atau
dengan menyiarkan sesuatu surat, ataupun dengan berterang-terangan
diminta atau menunjukkan bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh
didapat, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 45.000.

Pasal tersebut tidak secara khusus ditujukan kepada pers, namun mengingat
sifat media massa yang terbuka dan dikonsumsi oleh orang banyak menjadikan
pers rentan terhadap pasal-pasal kesusilaan. Kebebasan pers yang mulai
berlaku pada tahun1998 telah melahirkan berbagai terbitan majalah dan
tabloid, acara televise dan siaran radio yang menampilkan foto/artikel
serta siaran visual yang bersifat sensual. Pada sebagian anggota
masyarakat, kecenderungan tersebut menimbulkan keresahan dan antipati.

BAB IV

KASUS-KASUS DELIK PERS

Beberapa kasus tuntutan hukum penghinaan terhadap berita media cetak

1. Tempo,

10 April 1982
Laporan Kampanye Pemilu 1982
Dinilai melanggar pasal 207, penghinaan pada pemerintah
dibekukan

2. Editor,

27 Mei 1989
Sultan Brunei, Antara Mitos dan Fakta
Dianggap memberi citra negatif terhadap kepala negara sesama ASEAN
diperingatkan

3. Pos Kota,

Juni 1990
Permainan Sidang Tilang di PN Jakarta Pusat Semakin Gila
Pencemaran nama baik jaksa. Tidak disengaja dan sudah diralat
Bebas

4. Warta Republik,

25 Agust 1999
Cinta Segitiga Dua Jendral: Try Sutrisno dan Edi Sudrajat Berebut Janda
Pencemaran nama baik Try S. dan Edi S. Sumber berita tidak jelas,
tidak konfirmasi
Hukuman percobaan

5. Majalah D&R,

6 Juni 1999
   
Tender Proyek, KKN Gubernur
Pencemaran nama baik Gubernur Sulsel
Tidak jelas

Gatra,17 Oktober 1998
Obat Terlarang, Nama Tommy pun Disebut
Tommy menggugat 150 milyar atas perbuatan tidak menyenangkan
Bebas, memenuhi kode etik

6. Sriwijaya Post,

25 Agust 1999
KaBakin Terima 400 Milyar
Pencemaran nama baik. Gugatan perdata dan pidana
Hukuman percobaan

7. Tajuk,

23 Juni 1999
Di Balik Setoran Pribadi Itu
Digugat 10 milyar atas perbuatan melawan hukum
Minta maaf terbuka

8. Info Bisnis,

66/tahunIV/1999
Baramuli dan Kredit Rp. 800 milyar
Pencemaran nama baik
Tidak jelas

9. Kasus Tabloid Monitor

Kasus Tabloid Monitor pada tahun 1991 menyebabkan Arswendo Atmowiloto,
Pemimpin Redaksi, dijatuhi hukuman lima tahun penjara oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat karena dianggap terbukti melakukan delik yang
bersifat penodaan agama, dengan memuat hasil poling yang menempatkan
Nabi Muhammad SAW di urutan sebelas sesudah tokoh-tokoh populer di
Indonesia.

Contoh lain adalah yang menimpa majalah Matahari yang dicabut Surat
Izin Terbit-nya pada 25 Juni 1979. Pelarangan terbit terhadap majalah
ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan sehubungan
dengan artikel majalah tersebut yang berjudul: “Cukong Sumber
Malapetaka” (Edisi 16 Mei 1979), dan “Bangkrutnya Teknokrat ala
Mafia Berkeley” (Edisi 17 Juni 1979). Dua artikel tersebut dinilai
telah “melanggar batas-batas kesopanan, mengandung penghinaan dan
fitnah terhadap pejabat/pimpinan pemerintahan yang dikemukakan
secara sinisme” sehingga bisa dikategorikan melanggar pasal 310
(penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang).

Kasus serupa menimpa majalah Expo. Pada Januari 1984 Surat Izin
Terbit majalah tersebut dibekukan sementara karena memuat laporan
utama tentang “100 Milyarder Indonesia”. Laporan tersebut dinilai
oleh pemerintah telah “melakukan penelanjangan pribadi yang bernada
sensasi dan insinuasi.”

Salah satu contoh kasus tuntutan atas “penyebaran kabar bohong”
yang pernah diajukan ke pengadilan adalah yang menimpa Harian Berita
Buana pada tahun 1989. Redaktur Pelaksana harian tersebut oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dijatuhi hukuman satu setengah
tahun penjara (pada 4 November 1989) karena dinilai telah menyiarkan
kabar bohong mengenai makanan kaleng yang mengandung lemak babi.

Berita yang dipersoalkan berjudul: ”Banyak Makanan yang Dihasilkan,
Ternyata Mengandung Lemak Babi”.

Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, pihak redaksi Harian Berita
Buana terbukti bersalah, karena tidak berusaha meneliti kebenaran
informasi yang mereka publikasikan menyangkut isu makanan kaleng
yang mengandung lemak babi. Padahal, isu lemak babi sangat sensitif
untuk konsumen yang beragama Islam. Akibat berita tersebut, pihak
produsen makanan kaleng yang dituduh menggunakan lemak babi merasa
dirugikan. Majelis hakim yang memimpin sidang berpendapat Berita
Buana dengan sengaja menyebarkan berita yang belum tentu benar itu.

Kasus mengenai delik kesusilaan dialami oleh Pemimpin redaksi
Majalah Matra, Jakarta, Nano Riantiarno pada 8 Juni 2000. Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Riantiarno
bersalah karena telah melanggar kesusilaan dengan menyebarkuaskan
dan mempertunjukkan secara terbuka suatu gambar yang diketahuinya
menyinggung kesusilaan. Ia dijatuhi hukuman 5 bulan penjara dengan
masa percobaan 8 bulan. Nano dituduh melanggar pasal 282 ayat (1) KUHP,
karena pemuatan foto Sarah Azhari dan Inneke Koesherawati pada gambar
sampul majalah Matra edisi bulan Juni dan Juli 2000.

BAB V                      

KESIMPULAN

Pemakaian KUHP untuk menghukum wartawan atau media pers, jika tidak
hati-hati, bisa berakibat memasung kreativitas dan memberangus kebebasan
pers. Pasal-pasal dalam KUHP banyak yang bersifat represif, bernuansa
kolonialisme, sehingga tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman.

Meskipun demikian, faktanya, aturan hukum tersebut masih digunakan di
Indonesia – masih menjadi hukum positif – dan sewaktu-waktu bisa
diancamkan kepada pers.

Pasal yang menyangkut delik pers dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
sebaiknya tidak diberlakukan lagi. Karena Undang-Undang Pers
No. 40 Tahun 1999 yang mengatur kehidupan pers merupakan lex specialis,
sehingga sepatutnya undang-undang inilah yang mengatur kehidupan pers.

Sekarang ini hak-hak kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat pun
memperoleh jaminan lebih rinci lagi dalam Amandemen ke-2 UUD 1945.
________________________________________________________________________
Cat :
https://mindsmine.wordpress.com/2008/07/13/delik-pers/

Tidak ada komentar :

Posting Komentar