Sabtu, 03 Oktober 2015

Petrus Kanisius Ojong (Tokoh Pers)

* Pemahaman Umum


















* Pemahaman Umum

Petrus Kanisius Ojong atau Auw Jong Peng Koen (lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat, Indonesia, 25 Juli 1920 – meninggal di Jakarta,
Indonesia, 31 Mei 1980 pada umur 59 tahun) adalah salah satu pendiri
Kelompok Kompas Gramedia (bersama Jakob Oetama). Ojong menjadi
jurnalis sejak awal usia 30-an. Ojong mempunyai enam anak, empat
di antaranya laki-laki. PK Ojong meninggal tahun 1980.

* Riwayat

Lahir di Bukittinggi, 25 Juli 1920, dengan nama Auw Jong Peng Koen.
Ayahnya, Auw Jong Pauw, sejak dini mengajarkannya untuk hemat, disiplin,
dan tekun. Auw Jong Pauw awalnya adalah petani di Pulau Quemoy (kini
wilayah Taiwan) yang kemudian merantau ke Sumatera Barat. Di kemudian
hari, Auw Jong Pauw menjadi juragan tembakau di Payakumbuh, dan
menghidupi keluarga besar 11 anak dari dua istri, istri pertama
Auw Jong Pauw meninggal setelah melahirkan anak ke-7.

Peng Koen (PK Ojong) adalah anak sulung dari istri kedua. Saat
Peng Koen kecil, jumlah mobil di Payakumbuh tak sampai sepuluh,
salah satunya milik ayahnya.

Semasa hidupnya, Ojong dikenal sebagai pribadi yang sederhana, jujur,
bertanggung jawab, dan pandai mengelola keuangan. Dia tidak suka
menyumbang untuk acara pesta yang menghamburkan uang, namun memberikan
donasi kepada yang membutuhkan bantuan. Selain itu, PK Ojong juga
seorang pekerja keras dan mengutamakan persatuan bangsa berdasarkan
Bhineka Tunggal Ika.
Pendidikan

Semasa bersekolah di Hollandsch Chineesche School (HCS, sekolah dasar
khusus warga Tionghoa) Payakumbuh, Ojong dikenal sebagai anak yang
disiplin dan serius. Pada masa itu, ia berkenalan dengan ajaran agama
Katolik. Beberapa waktu kemudian, dia masuk Katolik dan mendapat nama
baptis Andreas. Peng Koen kemudian sempat pindah ke HCS Padang, lalu
melanjutkan ke Hollandsche Chineesche Kweekschool.

Di Hollandsche Chineesche Kweekschool (HCK, sekolah guru), ia gemar
membaca koran dan majalah yang dilanggani perkumpulan penghuni asrama.
Di sini Auwjong Peng Koen mulai belajar menelaah cara penulisan dan
penyajian gagasan. Di sekolah guru setingkat SLTA ini, Peng Koen
terpilih sebagai ketua perkumpulan siswa. Ia bertugas menyediakan
bahan bacaan buat anggota serta menyelenggarakan pesta malam Tahun
Baru Imlek dan piknik akhir tahun. Ojong kemudian meneruskan studinya
di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, dan lulus pada tahun 1951.
Karier

Pada awalnya, PK Ojong bekerja sebagai guru di SD Budi Mulia di Mangga
Besar Jakarta.[3] Ojong mempelajari mengenai jurnalistik pada tahun 1946,
ketika dia bergabung dengan Star Weekly, sebuah mahalan untuk komunitas
Tionghoa-Indonesia.[2] Dia memulai kariernya sebagai kontributor dan
akhirnya menjadi redaktur pelaksana hingga Star Weekly dibubarkan
pemerintah karena ulasan luar negeri yang ditulis Ojong dinilai
mengkritik kebijakan pemerintah.[2][4] Antara tahun 1946-1951, Ojong
merupakan anggota redaksi surat kabar harian Keng Po dan mingguan
Star Weekly.

PK Ojong juga dikenal sebagai tokoh di beberapa organisasi seperti
anggota Badan Pimpinan Pusat Partai Katolik, bendahara Pengurus Pusat
Serikat Penerbit Surat Kabar, bendahara Yayasan Indonesia yang menerbitkan
majalah kebudayaan Horison, bendahara Lingkaran Seni Jakarta, anggota
Dewan Kurator lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum Jaya, Ketua
Dewan Pembina Yayasan Tarumanegara (penyelenggara Universitas Tarumanegara),
dan koordinator Serikat Pers Katolik Internasional wilayah Indonesia,
serta pendiri dan direktur Kantor Berita Katolik Asia di Hongkong.

Pada tahun 1963, Ojong bersama dengan Jakob Oetama mendirikan majalah
Intisari, cikal bakal dari harian Kompas. Pada tahun 1965, mereka
mendirikan harian Kompas yang menjadi harian nasional Indonesia hingga
saat ini. Pada tahun 1970 hingga akhir hidupnya, PK Ojong merupakan
pimpinan umum dari PT Gramedia yang bergerak di bidang penerbitan.

PK Ojong wafat pada 31 Mei 1980. Untuk mengenang jasanya, patung Ojong
didirikan di halaman Bentara Budaya Jakarta, suatu lembaga nirlaba yang
bertujuan untuk pelestarian dan pengembangan seni budaya Indonesia.

* Buku

Cuplikan perjalanan hidup Petrus Kanisius Ojong, yang dibesut Helen
Ishwara dalam buku PK Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia (2001)
terasa bak tuntunan bagi wartawan dalam membangun media cetak dengan
baik dan benar. Pengalamannya, berlatar belakang intrik politik Orde
Lama dan Orde Baru, begitu rinci.
____________________________________________________________________
Cat :

Tidak ada komentar :

Posting Komentar